Inkontinensia urin merupakan suatu sindrom klasik yang terjadi pada lingkup geriatri. Mitos yang sampai saat ini masih beredar adalah inkontinensia urin terjadi secara wajar akibat bertambahnya usia. Nyatanya, proses penuaan terbukti memiliki faktor predisposisi terjadinya inkontinensia urin, antara lain terjadi penurunan kapasitas kandung kemih atau vesika urinaria (VU), peningkatan residu urin serta adanya peningkatan kontraksi VU yang terjadi secara involunter. Inkontinensia urin merupakan salah satu faktor yang dapat menurunkan kualitas hidup seseorang, terutama lansia.
Berdasarkan International Continence Society 1997, dikatakan sebagai inkontinensia urin apabila terjadi pengeluaran urin secara involunter atau tidak dapat dikendalikan dalam jumlah dan frekuensi yang cukup dan menjadi suatu masalah kesehatan dan sosial bagi penderita. Nygaard dkk. dalam publikasi JAMA 2008 menyebutkan, prevalensi inkontinensia urin meningkat dengan adanya pertambahan usia. Sebanyak 23% terjadi inkontinensia urin pada rentan usia 60 hingga 79 tahun dan 32% terjadi pada usia 80 tahun.
Dalam salah satu sesi simposium “Evidence Based Practice In Geriatric Medicine” yang diselenggarakan Perhimpunan Gerontologi Medik Indonesia Cabang Jakarta (PERGEMI JAYA), 2-3 Juni 2012 di Jakarta, DR. dr. Siti Setiati Sp. PD-Kger., M. Epid., FINASIM., berbicara mengenai “Optimal Management of Urinary Incontinence in Elderly”. Menurut Siti, terdapat 3 tipe dari inkontinensia urin, yakni overflow, stress dan urge. Tipe overflow terjadi ketika adanya blokade pada ostium uretra interneum sehingga pengosongan VU tidak dapat terjadi dengan baik. Diklasifikasikan pada tipe stress ketika terdapat peningkatan tekanan intra abdomen akibat adanya relaksasi otot dasar panggul. Tipe urge terjadi ketika adanya hipersensitivitas pada VU akibat infeksi. Selain itu, adanya kelainan persyarafan juga menjadi penyebab inkontinensia urin tipe urge. Pada banyak kasus, tipe inkontinensia urin dapat ditentukan dengan melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik secara cermat.
Dikutip dari studi Frank C, Szlanta pada CFP 2010, terdapat sistem klasifikasi dan kondisi yang mempengaruhi jalur pengendalian kontinensia. Klasifikasi disesuaikan dengan jenis inkontinensia dengan penambahan tipe mixed atau campuran yakni disertai adanya kelainan fungsional. Mekanisme yang terjadi pada tipe stress adalah terjadinya defisiensi sfingter intrinsik dan kelemahan otot dasar panggul. Hal ini biasa terjadi pada kasus pasca operasi. Inkontinensia urin terjadi dalam jumlah kecil yakni 5-10 mL akibat adanya batuk, bersin atau tertawa.
Mekanisme pada tipe urge terjadi akibat hiperefleksia detrusor (pada kasus stroke, NPH) dan instabilitas detrusor (pada kasus vaginitis atrofi, kanker kandung kemih). Hal ini akan menyebabkan terjadinya inkontinensia urin pada jumlah yang besar dan dalam periode waktu yang sempit sejak ada keinginan untuk buang air kecil yang kemudian menjadi suatu inkontinensia urin. Pada tipe overflow, terjadi inadekuat detrusor akibat neuropati diabetes serta terjadinya obstruksi outflow pada keadaan impaksi fekal dan BPH. Pada tipe ini, dapat atau tanpa disertai adanya rasa penuh pada VU yang dipengaruhi faktor frekwensi serta urgensi pada lansia. Tipe terakhir yakni campuran yang terkait dengan aspek fungsional; mobilitas, lingkungan serta kognitif.
Penyebab sementara pada inkontinensia urin diakibatkan oleh beberapa hal berikut ini; delirium, infeksi traktus urinarius, vaginitis atrofi, intervensi obat-obatan, aspek psikologi terutama pada depresi berat, pengeluaran urin berlebihan pada kondisi DM dan CHF, adanya keterbatasan mobilitas dan impaksi fekal.
Penting untuk melakukan evaluasi secara klinis terhadap pasien lansia dengan inkontinensia urin. Anamnesis cermat mengenai riwayat keluhan dapat menentukan tipe inkontinensia urin. Adanya faktor presipitasi seperti aktivitas dan suhu, asupan cairan, intervensi obat-obatan, keluhan obstetri pada wanita atau prostat pada pria, riwayat operasi atau terapi radiasi serta kondisi urologi lainnya seperti infeksi atau adanya obstruksi.
Dengan mengetahui riwayat pasien, dapat dilakukan systematic review dengan menghubungkan keadaan urologi, kaitannya dengan kondisi sistemik seperti DM, kelainan neurologi serta keterbatasan mobilitas.
Pemeriksaan fisik secara menyeluruh dan lokal dilakukan untuk menyempurnakan hipotesis pada anamnesis. Jika diperlukan, melakukan pemeriksaan laboratorium seperti urinalisis untuk melihat apakah terdapat hematuria atau proteinuria serta kultur urin jika dicurigai adanya infeksi traktus urinarius. Pemeriksaan uroflow dan basic urodynamics dapat dilakukan pada indikasi kemungkinan terjadinya obstruksi atau lemahnya kontraktilitas VU. Hal ini dilakukan untuk mengukur volume yang dapat ditampung oleh VU dan cystometrogram guna mengukur tekanan VU yang terisi. Post void residual (PVR) dilakukan untuk mengosongan VU tanpa adanya urin residu.
Evaluasi klinis dapat ditunjang dengan memberikan "buku harian berkemih" atau voiding diaries pada pasien guna memantau kondisi serta membantu mengklasifikasi tipe dan derajat dari gangguan berkemih tersebut. Voiding diaries juga bermanfaat untuk menetapkan diagnosis yang menyertai inkontinensia urin seperti diabetes insipidus, sleep apnea serta poliuria. Data minimal yang harus dicantumkan adalah waktu berkemih dan ada tidaknya inkontinensia urin seberapapun jumlahnya. Jika memungkinkan, melakukan pengukuran dari setiap volume urin dan asupan cairan yang diminum dapat menjadi sangat bermanfaat.
Bentuk penanganan yang dapat dilakukan pada lansia dengan inkontinensia urin adalah pendekatan secara simpatik tetapi proaktif. Hal ini akan menempatkan pasien pada perasaan yang nyaman dan mencegah morbiditas lebih lanjut yang dapat terjadi.
Tujuan utama dari penatalaksanaan pasien dengan inkontinensia urin adalah mengembalikan pada keadaan normal dari penyebab sementara inkontinensia urin serta meningkatkan kualitas hidup pasien dari aspek medis, ekonomi, psikologi serta sosial. Melakukan behavioral therapy seperti pada void diaries untuk melakukan monitoring, bladder training, serta pelatihan otot dasar panggul. Diet juga dilakukan untuk mengatur volume asupan dan tipe cairan apa yang seharusnya dikonsumsi. Obat-obatan golongan antimuskarinik serta terapi operatif juga menjadi opsi pada penatalaksanaan inkontinensia urin.
Bagaimana melakukan penanganan secara tepat pada lansia dengan inkontinensia urin? Staff pengajar Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam - FKUI ini menjelaskan, dengan melakukan evidence-based approach yakni dengan terapi edukasi, melakukan pengaturan volume dan waktu asupan cairan, menghindari terjadinya iritasi serta menghindari terjadinya konstipasi. Namun, pada pembatasan asupan cairan masih belum bisa dibuktikan efektivitasnya pada lansia. Adanya pembatasan tersebut, tidak jarang menyebabkan terjadinya dehidrasi.
Berdasarkan Cochrane Database of Systematic Reviews 2004, bladder training merupakan suatu teknik yang dilakukan untuk menunda berkemih dengan melakukan aktivasi penghambatan kortikal melalui pusat refleks berkemih pada sakrum. Selain itu, Cochrane 2011 juga membuktikan efektivitas pelvic floor muscle training (PFMT) untuk menguatkan otot dasar panggul dengan melakukan stimulasi functional electrical stimulation (FES). Melakukan behavioral treatment dengan tujuan untuk mengontrol waktu berkemih pasien, setiap kurun waktu 3 jam misalnya. Terapi lain seperti toksin botulinum juga memiliki manfaat pada overactive bladder (OAB), namun belum ada bukti yang cukup kuat untuk menentukan dosis optimal serta penggunaannya dalam jangka waktu yang lama.
Pemberian obat antikolinergik atau antimuskarinik terbukti efektif pada penanganan OAB, berdasarkan studi Chapple et al. Neuro-Urology 2008, dengan fesoterodine 4 dan 8 mg satu kali sehari. Fesoterodine tidak memiliki efek terhadap makanan, waktu paruh 7-8 jam dan tidak terjadi akumulasi pada penggunaannya. Fesoterodine bekerja dengan menyeimbangkan aktivitas reseptor muskarinik M2 dan M3.
Siti menjelaskan konsep pendekatan klinis yang efektif dengan menggunakan agen farmakologi sebagai lini terapi, yaitu memiliki kemampuan atau efektivitas untuk meredakan gejala, tolerabilitas yang direfleksikan dengan efek samping yang minimal serta pemenuhan dalam durasi maksimal terapi. Berdasarkan pemaparan yang telah disampaikan, dapat disimpulkan bahwa inkontinensia urin merupakan faktor predisposisi timbulnya masalah kesehatan dan berperan besar dalam menurunkan kualitas hidup seseorang. Tujuan utama memberikan terapi pada lansia dengan inkontinensia urin adalah meredakan gejala serta meningkatkan kualitas hidup pasien dengan mengatasi masalah yang menjadi penyebab sementara. Setelah itu, penatalaksanaan dapat dilakukan dengan mempertimbangkan efektivitas serta tolerabilitas yang terdapat dalam agen serta modalitas farmakologi. Bladder training, PFMT serta farmakologi antikolinergik/ antimuskarinik telah terbukti secara klinis efektif pada inkontinensia urin. F nis
Seperti tercetak di Majalah Farmacia Edisi Juli 2012 , Halaman: 40 (31 hits)
EmoticonEmoticon