Terapi Infeksi Jamur Sistemik

Infeksi jamur (mikosis) bisa menimpa orang sehat maupun orang dengan imunokompetensi atau gangguan sistem kekebalan. Infeksi jamur biasanya ringan dan bisa diobati dengan baik. Beberapa jenis jamur seperti  Candida spp, biasa ditemui di tubuh orang sehat dan tidak merugikan. Tetapi saat sistem imun melemah akibat kondisi tertentu seperti pada pasien HIV/AIDS dan kanker, jamur ini bisa menyebar secara sistematis ke berbagai organ, menyebabkan mikosis sistemik atau invasive fungal infection (IFI). IFI bisa berakibat fatal dan menyebabkan kematian. 

 Dr. Anna Rozaliyani SpP, M.Biomed yang juga spesialis parasitologi, menjelaskan berbagai hal tentang infeksi jamur sistemik dan terapinya dalam acara Current Infectious and Tropical Disease Management (CTM) 2011 di Aula FKUI, 25 September 2011 lalu. Menurut Anna, dalam dua dekade terakhir, insiden mikosis sistemik meningkat tajam. Beberapa faktor yang ikut berkontribusi pada ledakan IFI adalah pandemik HIV/AIDS, meluasnya kemoterapi, transplantasi organ,  penggunaan piranti pendukung yang agresif pada pasien ICU, dan infeksi pada neonatal. 

IFI sulit didiagnosis apalagi diterapi, sehingga menyebabkan kematian yang cukup tinggi. Jenis jamur yang paling sering dijumpai pada IFI adalah Candida spp., Aspergillus spp., dan Cryptococcus spp. Diagnosis mikosis sistemik masih menjadi tantangan bagi klinisi, karena gejala klinik dan fisik tidak tipikal. “Begitu juga dengan pemeriksaan laboratorium dan investigasi rutin yang seringkali tidak menemukan gejala spesifik,” jelas Anna.
Diagnosis pasti bisa dilakukan tergantung pada pemahaman terhadap faktor-faktor risiko  dan angka kejadian infeksi, presentasi klinis, atau dengan pemeriksaan radiologi. Beberapa kriteria diagnosis untuk infeksi jamur adalah proven, probable, dan possible.

Beberapa Pilihan Antifungal

Dijelaskan Anna, ada tiga kelas obat yang secara tipikal digunakan untuk infeksi jamur yaitu  polien, azol, dan ekinokandin. Berikut adalah beberapa antifungal yang ada:
Golongan Polien bekerja dengan mengikat ergosterol di sel membran jamur yang akan menyebabkan kerusakan permeabilitas sel dan pada akhirnya jamur akan mati. Dulu, ampoterisin-B menjadi terapi standar untuk infeksi jamur dengan mengabaikan risiko toksisitasnya, sebelum dikembangkan golongan azol dan ekinokandin. Ampoterisin-B memiliki spektrum sangat luas untuk berbagai infeksi jamur mulai dari Aspergillus, Cryptococcus, Blastomyces, Candida, Histoplasma, dan Zygomyces tertentu. Namun untuk Candida lusitaniae, Scedosporium prolificans, dan Aspergillus terreus sudah resisten dengan ampoterisin-B. 


Toksisitas terkait pemberian ampotericin-B di antaranya toksik pada ginjal, hati, dan reaksi terkait infus. Nistatin yang memiliki struktur mirip dengan ampoterisin-B, juga memiliki toksisitas yang hampir sama dengan ampoterisin-B sehingga tidak diberikan lagi secara parental. Nistatin hanya tersedia dalam bentuk oral dan krim.

Azol

Golongan azol saat ini digunakan dalam praktik klinis untuk berbagai infeksi jamur. Mekanisme azol secara langsung menghambat enzim lanosterol 14-α-demethylase, yang bertanggungjawab mengonversi lanosterol menjadi ergosterol. Hilangnya ergosterol yang merupakan komponen penting pada permeabilitas membran sel akan menyebabkan lisis dan kematian jamur.
Karena semua azol dimetabolisme di hati dengen berbagai derajatnya melalui sistem enzim sitokrom P450 maka  agen ini juga poten menghambat sitokrom P450 dan menyebabkan interaksi dengan berbagai macam obat. Efek samping yang umum terkait penggunaan azol adalah gangguan gastrointestinal, hepatotoksik, dan rash.

Ketokonazol adalah antifungal pertama dari golongan azol yang digunakan untuk IFI dengan aktivitas cukup baik untuk Candida spp. Obat ini harus diberikan hati-hati terkait hepatotoksisitas dan memiliki interaksi obat yang signifikan sehingga penggunaannya mulai dibatasi.

Dari generasi azol berikutnya yaitu triazol, generasi pertamanya adalah flukonazol. Flukonazol memiliki beberapa keuntungan dibandingkan azol lainnya. “Flukonazol memiliki spektrum paling luas dengan bioavailabilitas hampir 100% karena dia bisa melewati metabolisme pertama di lambung. Dosis berapapun tidak terpengaruh ada tidaknya asam lambung,” jelas Anna.


Flukonazol mudah diserap  dan dengan bioavailabilitas tinggi bisa didistribusikan ke seluruh tubuh termasuk cairan serebrospinal dengan kadar 60-80% di serum. Indikasi utama flukonazol adalah kandidiasis oral dan esofageal, kandidemia, dan meningitis kriptokokus. Flukonazol juga bisa diberikan sebagai profilaksis pada pasien transplantasi organ solid (hati, pankreas, atau usus kecil), pasien risiko tinggi di ICU, pasien neutropenia akibat kemoterapi, dan penerima stem sel yang mengalami neutropenia (dosis 400 mg/hari). 

Jika flukonazol efektif melawan infeksi kandida, maka vorikonazol lebih direkomendasikan untuk infeksi jamur aspergillus invasif, termasuk Aspergillus terreus yang sudah resisten dengan ampoterisin-B.  Jangkauan vorikonazol juga mencakup jamur yang sudah resisten dengan antifungi lain seperti Candida spp, Fusarium spp, Scedosporium aspiosperum, Trichosporon spp dan jamur lainnya. “Vorikonazol direkomendasikan sebagai terapi lini pertama untuk aspergilosis invasif,” jelas Anna. Hal ini berdasarkan penelitian yang menunjukkan vorikonazol tidak lebih inferior dibandingkan ampoterisin-B untuk terapi primer aspergilosis akut yang invasif, pada pasien imunokompromis. 


Vorikonazol tidak membutuhkan lingkungan asam untuk penyerapan optimal sehingga memiliki bioavailabilitas yang lebih baik dibandingkan ketokonazol dan itrakonazol. Antijamur ini tersedia secara oral baik tablet maupun suspensi, atau dalam bentuk injeksi intravena. Bentuk injeksi memiliki bioavailabilitas lebih besar hingga 90% dibandingkan formulasi oral. “Bioavailabilitas akan berkurang 30% jika diberikan bersama makanan tinggi lemak, oleh karena itu lebih baik diberikan saat perut kosong,” jelas Anna. 

Ekskresi vorikonazol tidak mempengaruhi gagal ginjal, namun pemberian vorikonazol dalam bentuk parenteral sebaiknya dilakukan pengaturan dosis, karena obat ini disekresi di ginjal. Pasien dengan penyakit ginjal (CrCl < 50 ml/menit), sebaiknya tidak diberi antijamur ini karena merupakan kontraindikasi. 

Antifungal dari golongan azol yang terbaru adalah posakonazol. yang memiliki spektrum lebih luas termasuk resistensi Candida dan aktif melawan Zygomycetes. Antifungal ini hanya tersedia dalam sediaan suspensi oral dan jika diberikan bersama diet tinggi lemak maka bioavailabilitas bisa meningkat hingga 400%. Posakonazol belum tersedia di Indonesia.


Ekinokandin

Ini merupakan kelas antijamur teranyar. Cara kerjanya dengan menghambat sintesis (1,3)-B-d-glucan, yang merupakan komponen penting di dinding sel berbagai macam jamur. Akibatnya terjadi instabilitas osmosis dan jamur akan mati. Mekanisme kerja golongan ini amat berbeda dengan golongan antifungal lainnya. “Hal ini memberikan pilihan terapi baru bagi sejawat,” jelas Anna.
Glukan tidak ada pada membran sel mamalia, itulah mengapa ekinokandin memberikan aktivitas antijamur yang luar biasa dengan efek samping hampir tidak ada pada manusia. Secara umum, tambah Anna, ekinokandin sangat aktif melawan infeksi Candida spp. The IDSA Clinical Practice Guideline untuk manajemen kandidiasis merekomendasikan ekinokandin untuk terapi awal kandidemia skala sedang hingga berat pada pasien yang sebelumnya sudah mendapatkan terapi azol, atau pasien yang berisiko tinggi terinfeksi C. glabrata yaitu pasien usia lanjut, pasien kanker, dan pasien diabetes. 

“Berdasarkan guideline IDSA, memang golongan ekinokandin ditujuan untuk infeksi Candida. Tetapi ia bisa juga bisa diberikan sebagai salvage therapy, untuk aspergolisis jika memang pasien tidak bisa meerima azol, misalnya pada pasien yang mengalami gangguan multiorgan,” jelas Anna.
Kaspofungin, mikafungin, dan anidulafungin, adalah tiga antifungal dari golongan ekinokandin yang diindikasikan untuk kandidemia, infeksi peritonitis atau infeksi intra-abdominal, maupun kandidosis esofageal. Seluruh ekinokandin memiliki bioavailabilitas rendah sehingga hanya bisa diberikan intravena.  Mikafungin dan anidulafungin cukup aman untuk pasien dengan insufisiensi ginjal atau hepar, sehingga tidak membutuhkan pengaturan dosis. Berbeda dengan kaspofungin yang dosisnya harus dikurangi untuk pasien dengan insufisiensi hepar sedang hingga berat. (tan)

Seperti tercetak di Majalah Farmacia Edisi November 2011 , Halaman: 38 (126 hits)